Memahami Makna Agama Sesungguhnya
Monday, 6 April 2020
Add Comment
Di sedang masyarakat beredar kaidah-kaidah yang mereka jadikan acuan di di didalam beragama. Padahal kaidah-kaidah sesudah itu tidak tersedia asalnya berasal berasal dari para salafus shalih dan para ulama Ahlussunnah. Terlebih kembali kaidah-kaidah ini membawa masalah dan bertentangan dengan dengan dengan dengan syariat. Diantaranya adalah kaidah-kaidah sesudah itu ini, yang secara lazim merupakan kaidah yang batil dan keliru. Walaupun memang, kaidah-kaidah ini mampu dimaknai benar dengan dengan dengan dengan syarat dan keputusan khusus.
Kaidah: "kita tolong-menolong di di didalam perkara yang kita sepakati, dan kita saling mengimbuhkan udzur di di didalam perkara yang kita perselisihkan" Jelas kaidah ini keliru, bertentangan dengan dengan dengan dengan firman Allah: "saling tolong menolonglah di di didalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong membantu di di didalam dosa dan pelanggaran" (QS. Al Maidah: 2). Ayat ini menyatakan bagwa tolong membantu itu bukan di di didalam perkara yang disepakati oleh manusia, namun di di didalam kebaikan dan ketaatan. Jika sekelompok orang sepakat
melaksanakan bid’ah, maka tetap tidak boleh tolong-menolong di di didalam kebid’ahan. Kaidah di atas termasuk bertentangan dengan dengan dengan dengan firman Allah: "Jika anda tidak serupa pendapat perihal sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), kecuali anda terlampau beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikianlah itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59)
Maka di di didalam perkara yang kita perselisihkan, sikap yang benar bukan mengimbuhkan saling mengimbuhkan udzur, namun kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadikan dalil sebagai kata pemutus. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: "Kaidah: kita bersatu di di didalam perkara yang kita sepakati, dan kita saling mengimbuhkan udzur di di didalam perkara yang kita perselisihkan. Ini tidak sangsi kembali adalah perkataan yang batil. Wajib bagi kita semua untuk bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul, bukan menjadi kita saling bertoleransi dan melepaskan tetap terhadap perbedaan. Bahkan yang benar adalah kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang bersesuaikan dengan dengan dengan dengan kebenaran, kita ambil, pendapat yang tidak benar maka kita tinggalkan. Itulah yang mesti bagi kita, bukan melepaskan umat tetap terhadap perselisihan" (Syarah Ushul As Sittah, hal. 20-21).
Namun, kaidah di atas mampu menjadi benar kecuali yang dimaksud adalah perkara yang ulama ijma (sepakat) itu disyariatkan, maka sebenarnya benar kita hendaknya saling-menolong. Juga kecuali yang dimaksud adalah perkara khilafiyah ijtihadiyyah saaighah, maka sebenarnya benar kita hendaknya saling mengimbuhkan udzur. Ibnu Hashar menyatakan suatu kaidah penting:"Tidak semua khilafiyah itu dianggap, namun yang diakui khilafiyah adalah yang membawa faktor pendalilan yang benar".
Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: "Ada banyak masalah yang para ulama berlapang dada di di didalam menyikapi perselisihan di dalamnya, sebab tersedia lebih dari satu pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar terhadap dalil yang shahih atau terhadap kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka di di didalam masalah yang layaknya ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang terhadap pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai pakar bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan seharusnya kita mentoleransi tiap-tiap pendapat sepanjang bersandar terhadap dalil shahih, biarpun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat". (Mafatihul Fiqhi, 1/100)
Kaidah: "lihat apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang berkata" Yang benar, di di didalam masalah dunia dan lebih kembali di di didalam masalah agama, kita mesti selektif dan menyimak dengan dengan dengan dengan baik siapa yang berkata? Allah ta’ala berfirman:"Dan sungguh Allah sudah menurunkan kekuatan kepada anda di di di didalam Al Quran bahwa kecuali anda mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah anda duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sebenarnya (kalau anda berbuat demikian), tentulah anda serupa dengan dengan dengan dengan mereka. Sesungguhnya Allah mampu mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di di di didalam Jahannam" (QS. An Nisa: 140).
Ayat ini melarang duduk-duduk di majelis orang yang buruk. Maka artinya, mesti selektif pilih majelis. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam termasuk bersabda:"Diantara tanda kiamat adalah orang-orang menuntut pengetahuan berasal berasal dari al ashaghir (ahlul bid’ah)" (HR. Ibnul Mubarak di di didalam Az Zuhd [2/316], Al Lalikai di di didalam Syarah Ushulus Sunnah [1/230], dihasankan Al Albani di di didalam Silsilah Ash Shahihah [695]).Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mewanti-wanti terhadap ahlul bid’ah yang menjadi pengajar. Maka ini menyatakan mesti selektif di di didalam mengambil alih ilmu.
Demikian termasuk masalah dunia, mesti dicermati siapa yang mengatakannya. Allah ta’ala berfirman:"Wahai orang- orang yang beriman, kecuali tersedia seorang faasiq berkunjung kepada kalian dengan dengan dengan dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), sehingga jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya terhadap suatu kaum atas dasar kebodohan, setelah itu setelah itu kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian" (QS. Al-Hujurat: 6).
Maka paham kelirunya kaidah di atas. Namun kaidah di atas mampu benar, kecuali di bawakan di di didalam bab "menerima kebenaran". Jika suatu perkataan sudah tersampaikan, entah disengaja atau tanpa sengaja sampainya, dan itu bersesuaian dengan dengan dengan dengan kebenaran, maka mesti di menerima siapapun yang mengatakannya. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang membawa kabar berasal berasal dari setan namun dibenarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,Setan berkata, "Biarkan mengajarimu suatu kalimat yang mampu berfaedah untukmu". Abu Hurairah bertanya, "Apa itu?" Setan pun menjawab, "Jika engkau hendak tidur, bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum‘ sampai selesai. Maka Allah mampu tetap menjagamu dan setan tidak mampu mendekatimu sampai pagi
hari". Abu Hurairah berkata, "Aku pun melepaskan diri setan tersebut. Dan waktu pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku, "Apa yang dilaksanakan oleh tawananmu semalam?". Abu Hurairah menjawab, "Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri kegunaan padaku kecuali membacanya. Sehingga saya pun melepaskan dirinya". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apa kalimat tersebut?" Abu Hurairah menjawab, "Ia menyatakan padaku, kecuali saya hendak tidur hendaknya membaca ayat kursi sampai selesai, yaitu ayat ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia menyatakan padaku bahwa Allah mampu tetap menjagaku dan setan pun tidak mampu mendekatimu sampai pagi hari. Dan dahulu para rekan akrab adalah orang-orang yang paling semangat di
dalam laksanakan kebaikan". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, "Dia (setan) sudah menyatakan kebenaran, biarpun asalnya dia adalah makhluk yang banyak berdusta. Engkau paham siapa yang berkata padamu di di didalam tiga malam kemarin, wahai Abu Hurairah?". Abu Hurairah menjawab: "Tidak tahu". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Dia adalah setan." (HR. Bukhari no. 2311).Perkataan setan tetap dibenarkan kecuali sebenarnya bersesuaian dengan dengan dengan dengan kebenaran. Dan pasti saja untuk menilai suatu perkataan itu bersesuaian dengan dengan dengan dengan kebenaran atau tidak, ini mesti ilmu. Bukan dengan dengan dengan dengan kesimpulan baik atau perasaan.
Kaidah: "ambil baiknya, menghilangkan buruknya" Kaidah ini termasuk bertentangan dengan dengan dengan dengan dalil-dalil di poin ke dua di atas perihal wajibnya selektif di di didalam melacak kebenaran dan melacak ilmu. Bukan ambil berasal berasal dari sembarang orang setelah itu menjadi mampu mengambil alih baiknya dan menghilangkan buruknya.Kaidah ini termasuk bertentangan dengan dengan dengan dengan akal sehat. Karena bagaimana mampu saja pencari kebenaran dan penuntut pengetahuan paham mana yang baik dan mana yang buruk, padahal dia baru saja berharap belajar dan mencari?! Padahal paham mana yang baik dan mana yang jelek mesti kepada ilmu.
Namun kaidah ini mampu benar kecuali diterapkan terhadap orang yang mayoritasnya baik dan di atas kebenaran namun dia tergelincir terhadap lebih dari satu kekeliruan. Seperti waktu berguru terhadap seorang ulama yang berpegang terhadap sunnah dan akidah yang lurus. Maka pasti saja ulama sebagaimana manusia biasa, ia tidak sempurna, kadang waktu tersedia kekurangan di di didalam dirinya berupa lebih dari satu akhlak yang jelek atau lainnya. Maka di sini baru diterapkan, "ambil baiknya, menghilangkan buruknya". Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:"Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik" (HR. Ibnu Hibban 94). di didalam riwayat lain:"Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali kecuali terkena hadd" (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani di di didalam Ash Shahihah, 638).
http://pesfm.org/members/abiabiz/activity/688609/
http://pesfm.org/members/abiabiz/activity/688615/
http://pesfm.org/members/abiabiz/activity/688619/
0 Response to "Memahami Makna Agama Sesungguhnya"
Post a Comment